Kamu, adalah kepingan fragmen yang hilang, entah untuk sementara waktu atau bahkan untuk selamanya. Hingga detik aku memaparkan cerita ini, tidak sanggup sedikitpun aku menerka apa yang akan dilakukan laju detakan jarum waktu. Bila diperkenankan, aku ingin menuturkan bahwa hadirmu layaknya fatamorgana, yang sejenak singgah, lalu pergi dalam sekejap, tak tersisa. Atau, mungkin aku sedang berhalusinasi? Karena oksigen yang mengalir ke otakku mulai menipis, visualku membayang buram, dan nafasku terengah karena letih perjalanan membuat sukmaku berada pada puncaknya. Hari yang pernah menciptakan aku dan kamu yang menjadi kita, berlalu begitu saja. Seperti insan yang kehilangan etika bertamu, berpijak pergi tanpa berpamitan. Ah.. mungkin aku saja yang memiliki harapan lebih dari arti sebuah perjumpaan.
Mulanya aku mengira engkau adalah oase diantara teriknya padang gurun, dan hendak meredakan dahagaku. Uluran tanganmu mengusap peluhku yang mulai bercucuran, dekapmu menenangkan disaat gundahku meraja, kecupmu seakan meyakinkanku. Meskipun demikian, kau tetap memilih untuk beranjak, lalu kau jadikan ku sebagai persinggahan singkatmu. Untung saja, nuraniku selalu bergeming agar aku tidak jatuh terlalu dalam pada buaian, yang juga merupakan bualan semata. Setidaknya ia berusaha menyelamatkan rasional untuk tetap pada sadar dan realita.
Entah nanti, esok, atau bila semesta mempercayakan satu kali lagi kesempatan, dan ketika itu kau menyadari makna terdalam dari sebuah kedewasaan, maka ketika itu juga hadirku akan menghiasi alam jutaan sesal. Telah ku serahkan pada jagat raya, kali ini gilirannya untuk berkarya, dan merangkai energi semesta, tak sanggup terhitung oleh nalar manusia, agar tercipta keselarasan antara senyum dan muram, yang menjadi definisi karma.
Kepadamu kepingan fragmen yang hilang, semoga hayat mengajarkanmu untuk menghargai cipta rasa, tidak lagi berkutat pada penjajakan, dan pencarian, namun pada penentuan yang berarah.
Comments