Torehan tinta hitam di kertas ini ingin bercerita, tentang janji satu purnama, dan lolongan serigala yang mendamba hangatnya rengkuhan. Memang, purnama tak datang di setiap malam. Namun ia mengerti akan tiba saat yang tepat ketika kehadirannya bertanggungjawab menerangi gelapnya malam, bersama temaram cahaya yang melukir pesona, dan kerlip bintang bagaikan lampu kota di langit petang. Sinarnya menyelimuti jiwa-jiwa yang lelah akan peraduan, dan bisingnya perkotaan. Setulus hati ia tawarkan ketenangan walaupun harus berkejaran dengan waktu yang terus melaju.
Ada nafas yang masih terjaga ketika manusia tengah terbuai dalam visual imajinya. Sebagaimana terusik kerinduan yang meronta, memohon pertolongan, dalam hening, dan pekatnya harap. Terdengar seperti lolongan serigala yang terus menggaung. Diantara hingar bingar nya tersisip bimbang merajam. Pada sisa waktu yang ia miliki, dan perburuan yang terus berlangsung, problematika kepastian masih saja berkutat pada tanya, dan proses pematangan. Entah apa yang menjadi inginnya, terlihat seperti hilang arah dalam penentuan.
Sejenak sang serigala singgah di salah satu puncak perbukitan tertinggi yang mendekatkannya pada purnama. Merasakan khidmat rengkuhan sinarnya, walau tertutup bayang sang awan. Pada waktu yang besamaan, dan dengan nyaring lolongannya, ia terus menatap pada purnama, terpancar binar harapan untuk dapat menjangkau jarak ratusan juta tahun cahaya, menjadi satu jengkal tangan manusia. Seiring malam berganti, ia pupuskan harap pada purnama, dan kembali pada perburuannya. Walaupun sesungguhnya ia paham, tidak ada tempat lain yang sanggup menawarkan kesejukan selain perbukitan itu, sembari menatap sang purnama, bermandikan pancaran kilau cahayanya. Layaknya ketika elegi pagi hadir beriring embun, berselaras dengan kicau burung gereja, lalu rasa itu terasingkan.
Pada persinggahannya di gelap malam, purnama pun membentangkan sebuah janji, berikrar bahwa ia tak akan pernah lelah dan meredup. Bilamana sang serigala datang kembali dengan keyakinan yang telah dimantapkan, dan sadarnya menuntun, bahwa rumah yang ia tuju sesungguhnya adalah bukit tempat biasa ia menatap lekat dan melantunkan kidung pujangga teruntuk sang purnama.
Comments